Di era Orde Lama, tepatnya pada tahun 1957, Bung Karno pernah menyusun sebuah kabinet yang dinamakannya Kabinet Kaki Empat. Dinamakan demikian karena kabinet tersebut terdiri dari empat partai besar Pemilu 1955 yakni: PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
PNI, Murba, dan PKI sepakat dengan konsep itu, namun partai-partai seperti Masyumi, NU, PSII, dan Partai Katolik menolaknya. Salah satu respon penolakan paling keras adalah dari kubu NU. Sebabnya adalah trauma masa lalu ketika PKI melakukan pembantaian terhadap kiai-kiai NU di Madiun pada tahun 1948 silam.
Sikap keras NU membuat Bung Karno gusar. Maka diundanglah para pembesar NU seperti KH Wahab Chasbullah, KH Zainul Arifin, dan KH Idham Chalid untuk bertemu dengan Bung Karno hingga terjadilah dialog berikut ini:
Bung Karno (BK): Kenapa (NU) menolak Kabinet Kaki Empat?
KH Idham (KI): Karena banyak kiai NU yang disembelih (PKI) pada waktu peristiwa Madiun, itu belum terlupakan oleh kami.
BK: Kalau kamu belum bisa melupakan bagaimana kita bernegara?
KI: Itulah, Pak. Saya ini membawa bukan hanya suara saya pribadi, tapi suara semua orang (NU).
BK: Tuan tuan ini keras kepala betul.
KI: Memang pak. Jikalau PKI ditaruh di bahu, dia akan naik kepala, itu pengalaman di negara-negara komunis.
BK: Itu kan di negara lain.
KI: Buktinya, pak, sewaktu di Madiun kan (PKI) sudah menimbulkan korban banyak di kalangan rakyat.
BK: Ya itu kan lain, nanti saya yang menghadapi kalau mereka berani (memberontak) lagi.
KI: Lebih baik PKI jangan diberi angin saja. Kami punya keyakinan suatu saat PKI akan memberontak lagi. Kalau seandainya NU tidak pantas ikut di Kabinet, saya dengan sukarela akan mengundurkan diri.
BK: Tidak. Ini prinsip saya. Kita harus kerja di satu meja, juga harus makan bersama di meja yang sama.
KI: Tidak bisa pak. Saya hanya satu di antara sekian juta orang NU yang memutuskan tidak bisa bekerjasama dengan PKI.
BK: Saudara tahu saya ini bukan PKI? Saya ini orang Islam, tapi kita ini harus mengurus dunia. Ada 6 juta suara (PKI) tidak diikutkan. Ini berbahaya.
KI: Kami berpendapat justru kalau (PKI) diikutkan berbahaya.
BK: Itu berarti saudara kena propaganda Masyumi!
KH Idham (KI): Karena banyak kiai NU yang disembelih (PKI) pada waktu peristiwa Madiun, itu belum terlupakan oleh kami.
BK: Kalau kamu belum bisa melupakan bagaimana kita bernegara?
KI: Itulah, Pak. Saya ini membawa bukan hanya suara saya pribadi, tapi suara semua orang (NU).
BK: Tuan tuan ini keras kepala betul.
KI: Memang pak. Jikalau PKI ditaruh di bahu, dia akan naik kepala, itu pengalaman di negara-negara komunis.
BK: Itu kan di negara lain.
KI: Buktinya, pak, sewaktu di Madiun kan (PKI) sudah menimbulkan korban banyak di kalangan rakyat.
BK: Ya itu kan lain, nanti saya yang menghadapi kalau mereka berani (memberontak) lagi.
KI: Lebih baik PKI jangan diberi angin saja. Kami punya keyakinan suatu saat PKI akan memberontak lagi. Kalau seandainya NU tidak pantas ikut di Kabinet, saya dengan sukarela akan mengundurkan diri.
BK: Tidak. Ini prinsip saya. Kita harus kerja di satu meja, juga harus makan bersama di meja yang sama.
KI: Tidak bisa pak. Saya hanya satu di antara sekian juta orang NU yang memutuskan tidak bisa bekerjasama dengan PKI.
BK: Saudara tahu saya ini bukan PKI? Saya ini orang Islam, tapi kita ini harus mengurus dunia. Ada 6 juta suara (PKI) tidak diikutkan. Ini berbahaya.
KI: Kami berpendapat justru kalau (PKI) diikutkan berbahaya.
BK: Itu berarti saudara kena propaganda Masyumi!
Tambahan ;
Kalau di zaman dulu, sikap yang ditunjukkan KH Idham Chalid dianggap sebagai representasi sikap Masyumi, maka di zaman sekarang, biasanya diredaksikan dengan: Dasar Islam Radikal!
Kalau di zaman dulu, sikap yang ditunjukkan KH Idham Chalid dianggap sebagai representasi sikap Masyumi, maka di zaman sekarang, biasanya diredaksikan dengan: Dasar Islam Radikal!
***
Dialog disarikan dari buku berjudul Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid Tanggung Jawab Politik NU Dalam Sejarah, editor Arief Mudatsir Mandan, yang dikutip oleh H Abdul Mun'im DZ dalam buku Benturan NU PKI 1948-1965.